BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
GAMBARAN UMUM
Riwayat perkembangan KB
di Indonesia KB masuk di Indonesia seperti di negara
lainnya melalui pintu kesehatan, bukan pintu kependudukan ataupun isu peledakan
penduduk. Pada mulanya belum dimengerti oleh banyak pihak. Bahkan belum
dimengerti dan dihayati oleh banyak para pengambil keputusan. Periode tahun
1950-1966 merupakan periode perintisan KB di Indonesia. Perintisnya adalah para
tokoh intelektual, termasuk dokter dan bidan yang termotivasi dengan kematian ibu
yang merisaukan. Pada waktu itu belum ada political will dari pemerintah.
Berkat dukungan tokoh-tokoh KB waktu itu, pada tahun 1957 resmi didirikan
Perkumpulan Keluarga Berencana (PKB). Pengurus PKB juga melibatkan pekerja
sosial yang membantu peloporan KB di Indonesia. Kegiatan penerangan dan
pelayanan masih dilakukan terbatas, karena masih adanya larangan tentang
penyebarluasan kontrasepsi. Pada masa Orde Baru, masalah kependudukan menjadi
fokus perhatian pemerintah. Hal ini berpengaruh terhadap keluarga berencana di
Indonesia. KB diimplementasikan sebagai program pemerintah dalam waktu yang
singkat. Pada tahun itu, Presiden Republik Indonesia bersama pimpinan
pemerintah-pemerintah lain di dunia menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia
di New York. Deklarasi itu berisi pernyataan akan kesadaran betapa pentingnya
menentukan atau merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam
keluarga sebagai hak asasi manusia. Di samping itu dinyatakan pula betapa
pentingnya pengawasan dan pengendalian terhadap kependudukan sebagai unsur
utama perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi. Periode implementasi Program
KB (1970- sekarang) mengalami tahapan perkembangan dengan terbentuknya
kelembagaan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
B.
Latar Belakang
Dasar pemikiran lahirnya KB di Indonesia adalah adanya permasalahan kependudukan. Aspek-aspek yang penting dalam kependudukan adalah :
- Jumlah besarnya penduduk
- Jumlah pertumbuhan penduduk
- Jumlah kematian penduduk
- Jumlah kelahiran penduduk
- Jumlah perpindahan penduduk
C.
Perkembangan KB di Indonesia
- Periode Perintisan dan Peloporan
- Periode Persiapan dan Pelaksanaan
Periode Perintisan dan Pelaporan
- Sebelum 1957 – Pembatasan kelahiran secara tradisional (penggunaan ramuan, pijet, absistensi/ wisuh/ bilas liang senggama setelah coitus).
- Perkembangan birth control di daerah – Berdiri klinik YKK (Yayasan Kesejahteraan Keluarga) di Yogyakarta. Di Semarang : berdiri klinik BKIA dan terbentuk PKBI tahun 1963. Jakarta : Prof. Sarwono P, memulai di poliklinik bagian kebidanan RSUP. Jawa dan luar pulau Jawa (Bali, Palembang, Medan).
Periode Persiapan dan Pelaksanaan
Terbentuk LKBN (Lembaga Keluarga Berencanan Nasional) yang mempunyai tugas pokok mewujudkan kesejahteraan sosial, keluarga dan rakyat. Bermunculan proyek KB sehingga mulai diselenggarakan latihan untuk PLKB (Petugas Lapangan keluarga Berencana).
PERIODE PERINTISAN DAN KEPELOPORAN
1.
Sebelum 1957
a.
Pembatasan kelahiran secara tradisional
Telah dikemukakan bahwa sebagai salah
satu usaha untuk mengatasi pengendalian bertambahnya penduduk yang telah dikemukakan
oleh para pengikut Maltus adalah Birth Control.
Disamping itu Birth Control ini juga
telah dikembangkan oleh Margareth Sanger di dalam usahanya untuk membatasi
kelahiran sehingga kesehatan ibu dan anak dapat dipelihara dengan baik.
Usaha membatasi kelahiran (Birth
Control) sebenarnya secara individual telah banyak dilakukan di Indonesia.
Diantaranya yang paling banyak diketahui adalah cara-cara yang banyak digunakan
di kalangan masyarakat Jawa. Oleh karena penelitian mengenai hal ini banyak
dilakukan di Jawa. Tetapi bukan berarti daerah-daerah di luar Jawa tidak
melakukannya, misalnya seperti di Irian Jaya, Kalimantan Tengah, dan
sebagainya. Jamu-jamu untuk menjarangkan kehamilan juga banyak dikenal oleh
orang, meskipun ada usaha untuk menyelidiki secara ilmiah ramuan-ramuan tradisionil
itu. Salah satu diantaranya yang banyak dipakai dipedesaan di Jawa adalah air
kapur yang dicampur jeruk nipis.
Khususnya di daerah Temanggung dikenal
ramuan yang terdiri dari laos pantas yang dicampur gula aren dan garam, jambu
sengko dan sebagainya. Dari penelitian di Temanggung, diperoleh keterangan-keterangan
tentang caracara pencegahan kehamilan lainnya seperti absistensi (asal dan juga
cara semacam doucke atau mobilas liang sanggama setelah persenggamaan yang disebut
wisuh.
Namuan dikenal juga cara seperti urut,
yang dimaksud untuk menggugurkan kandungan. pantang), Juga semacam rumusan
seperti ragi, tapai, pil kina atau minuman keras yang dikenal sebagian
ramuan-ramuan untuk menggugurkan.
Sementara itu ilmu pengetahuan
berkembang terus. Termasuk juga ilmu kedokteran. Apabila tidak menghendaki lagi
kelahiran bayi, maka proses kehamilan itulah yang harus lebih dahulu dicegah. Angka
kematian bayi di Indonesia tergolong tinggi. Begitu pula dengan kematian
ibu-ibu pada waktu melahirkan, hal mana kiranya tak akan terjadi seandainya
orang sudah mulai merencanakan keluarganya dan mengatur kelahiran. Inilah yang
telah menyebabkan sejumlah tokoh-tokoh sosial menjadi lebih bertekad untuk
berusaha mengatasi keadaan yang menyedihkan itu. Dan niat itu memang sudah lama
terkandung dalam hati banyak orang di kalangan masyarakat Indonesia, terutama
para ibu rumah tangga, yang menganggap penjarangan kehamilan itu sangat penting
demi kesehatan mereka.
b.Perkembangan
Birth Control di daerah-daerah di Indonesia
-
Di Yogyakarta
Di Yogyakarta, Birth Control ini telah menimbulkan
reaksi yang hebat berupa kecaman-kecaman dari masyarakat. Masalah itu telah
disinggung oleh Dr. Sulianti yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala
Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak pada Kementerian Kesehatan di Yogya, dalam
wawancaranya dengan wartawan harian Kedaulatan Rakyat. Harian tersebut kemudian
dalam terbitnya tanggal 16 Agustus 1952, menulis sebagai berikut :
“BIVOLKINGSPOLITIEK
PERLU DI INDONESIA
BERANIKAH
KAUM IBU LAKUKAN PEMBATASAN KELAHIRAN ?
Kira-kira sebulan yang lalu, 2 orang utusan
dari Headquarters UNICEF di
Bangkok,
Dr. Sam Keeny dan Hayward mengunjungi Indonesia untuk membicarakan rencana yang
diajukan kepada UNICEF. Pada pokoknya rencana itu diterima. Dr. Sulianti,
pemimpin Jawatan Kesejahteraan Ibu dan Anak di Yogyakarta, kepada Kedaulatan
Rakyat menerangkan bahwa rencana yang diajukan kepada UNICEF itu terutama
dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kemampuan dalam pemeliharaan kesejahteraan
ibu dan anak, dan juga untuk lebih melengkapi alat-alat yang dibutuhkan dalam
pendidikan tenaga-tenaga kebidanan, termasuk dukun bayi.
Mengenai tenaga-tenaga bidan oleh Dr.
Sulianti dinyatakan, bahwa di Indonesia sangat kekurangan tenaga bidan,
sehingga kita terpaksa menggunakan tenaga dukun. Atas pertanyaan mengenai
kelahiran bayi, oleh Dr. Sulianti diterangkan bahwa menurut statistik di
Yogyakarta ini kira-kira 130 dari 1000 bayi yang lahir, meniggal atau 130
pronil, sedang di Bandung angka itu menujukkan 300 promil.
Mengenai keadaan yang demikian itu
jumlah penduduk Indonesia semakin
banyak,
maka menurut Dr. Sulianti sebaiknya para ibu harus berani dan mau melakukan
pembatasan kelahiran. Juga dipandang dari sudut kesehatan dan ekonomi,
pembatasan kelahiran itu perlu dilakukan.
Kepada para ahli dianjurkan supaya
masalah ini diperjuangkan sampai menjadi bervolkingspolitik. Demikian Dr.
Sulianti mengakhiri keterangannya”. Ternyata pemberitaan itu tidak seluruhnya
benar. Maka Dr. Sulianti telah menyampaikan koreksi yang dimuat dalam terbitan
Kedaulatan Rakyat tanggal 15
September
1952. Akan tetapi masyarakat sudah terlanjur menentukan sikapnya. GOWY
(Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta) mengadakan pertemuan dan disamping itu
juga oleh pemuka-pemuka agama, dokter-dokter, bidan-bidan. Rapat yang diadakan
di jalan Bintaran Wetan 84 itu tegas-tegas menolak pandangan Dr. Sulianti
tentang pembatasan kelahiran. Dalam pertemuan itu juga dibentuk suatu panitia
yang ditugaskan untuk mempelajari masalah pembatasan untuk merumuskan suatu
“Pernyataan Gabungan Organisasi Wanita Yogyakarta”.
Pada dasarnya GOWY berpendapat bahwa
pembatasan kelahiran merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak azasi
manusia, mengakibatkan pembunuhan terhadap bibit-bibit bayi dan bahkan dapat
memperluas pelacuran dan merusak moral masyarakat. Rapat tidak menyetujui
pembatasan kelahiran sebagai suatu cara untuk mengatasi pertambangan penduduk. Dr.
Sulianti dipanggil oleh Menteri Kesehatan dan diperingatkan agar tidak lagi
menyinggung masalah yang rawan itu. Peringatan itu diberikan oleh Menteri
Kesehatan karena sebelumnya Menteri telah mendapat teguran dari Presiden
Indonesia, waktu itu Ir. Soekarno3. Dalam sebuah pidato yang diucapkan di
Palembang setelah terjadinya
“Peristiwa
Yogya” itu, Presiden juga menyatakan tidak setuju dengan pembatasan
kelahiran.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa masalah pembatasan kelahiran itu belum ditinjau dari sudut kesehatan. Inilah
yang mendorong beberapa tokoh wanita yang memandang masalah tersebut dari segi
kesehatan, untuk kemudian mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) pada
tanggal 12 Nopember 1952, yang diketuai oleh (Ny) Marsidah Soewito. Tujuan
Yayasan tersebut tercantum dalam fasal dua Anggaran Dasarnya, yaitu
meningkatkan kesejahteraan anak, pemuda dan ibu. Dalam gerak langkahnya YKK
cukup berhati-hati dengan tidak memakai istilah pembatasan kelahiran, melainkan
pengaturan kehamilan. Alasan-alasan kesehatanlah yang selalu ditonjolkan demi
kelancaran usahanya dan agar tidak menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak
dikehendaki. YKK mendirikan kliniknya yang pertama di jalan Gondoayu.
Pengunjungpengunjung klinik ini yang meminta nasehat untuk mengatur kehamilan
dianjurkan melakukan pantangan berkala, azal dan kontrasepsi yang sangat
sederhana terbuat dari karet busa yang cukup dicelup air garam.
-
Perkembangan di Semarang
Pada pertengahan tahun 1958 Dr.
Harustiati Subandrio, dr. Judono dan Mrs. Mc. Kinnon (dari The Pathfinder Fund)
berkunjung ke Semarang pada kesempatan mana memberikan ceramah-ceramah tentang
keluarga berencana kepada anggota-anggota IDI dan isteri-isteri dokter. Dokter
Farida B. Heyder yang merasa tertarik oleh gagasan keluarga berencana itu
kemudian mulai memberi penerangan tentang keluarga berencana itu kepada ibu-ibu
yang mengunjungi poliklinik bagian anak RSUP dan balai-balai kesehatan Ibu dan
Anak di kota Semarang.
Pada tahuun 1960 ia membuka sebuah
klinik keluarga berencana di BKIA Pandanaran dengan bantuan dr. Liem Tjay Sien
dan bidan Ny.Sugito. Wawancara dengan Prof. Dr. Sulianti Saroso Meskipun Kepala
Kesehatan Kota waktu itu belum dapat menyetujui adanya klinik keluarga
berencana, namun pembukaan klinik di Pandanaran itu dimungkinkan berkat bantuan
dari IKES dr.Marsidi. Sekembalinya (Ny.Sugito dari Singapura untuk mengikuti
latihan keluarga berencana, dibuka lagi 4 klinik keluarga berencana yang semuanya
itu ditempatkan di BKIA. Sampai Kongres I PKBI, klinik-klinik itu dipimpin langsung
oleh dr.Farida B Heyder yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala KIA
Kotamadya Semarang, berhubung belum ada dokter lain yang berminat membantu.
Pada tanggal 16 Juni 1963 dibentuk PKBI
cabang Semarang yang berkantor di BKIA Pandanaran. Dari tanggal 2 s/d 27 Juli
1963 diadakan seminar tentang keluarga berencana yang diikuti oleh unsur-unsur
dari kalangan kedokteran dan masyarakat umum. Semua itu telah banyak membantu
untuk mencapai kemajuan-kemajuan lebih lanjut dalam bidang keluarga berencana.
Perhatian masyarakat menjadi lebih besar dan permohonan-permohonan untuk
ceramah meningkat jumlahnya. Diakui bahwa sebagian besar ceramah-ceramah itu
diberikan kepada ibu-ibu dari golongan atas dan menengah saja. Sikap pemerintah
maupun situasi politik ketika itu tidak mengizinkan diperluasnya rakyat jelata yang
sebenarnya lebih membutuhkannya.
Sesudah Kongres I PKBI, perhatian
masyarakat mengenai keluarga berencana lebih meningkat lagi, sehingga baik
volume maupun frekwensi kegiatan dalam bidang ini menjadi lebih besar. Karena
sangat kekurangan tenaga-tenaga ahli maka untuk dapat menampung tambahan
pekerja, dikirimnya tenaga-tenaga untuk dilatih, baik ke Jakarta maupun ke luar
negeri. Sementara itu, perlu dicatat bahwa banyak bantuan yang telah diterima
dari orang-orang seperti antara lain dr. Brotoseno dan dr. Sumiani.
-
Perkembangan di Jakarta
Di Jakarta, kegiatan perintisan itu
dimulai di bagian Kebidanan RSUP yang dipimpin oleh Prof. Sarwono
Prawirohardjo. Di poloklinik kegiatan itu yang dipimpin oleh dr. M. Judono dan
dibantu oleh dr. Koen S. Martiono, sejak tahun 1953 telah dilaksanakan program
yang disebut “Post Natal Care”, yaitu pemeriksaan pasien 6 minggu setelah melahirkan.
Perhatian Prof. Sarwono Prawirohadjo dalam masalah pengaturan kelahiran (Birth
Control) begitu besar, hingga telah mengirim dr. Juwono ke luar negeri untuk
memperdalam pengetahuannya tentang pembatasan kelahiran. Ini merupakan
pengiriman orang Indonesia yang pertama dalam bidang ini.
Sebenarnya tidak hanya di poliklinik
kebidanan RSUP saja kegiatan pengaturan kehamilan itu dilakukan. Bahkan
sebelumnya sejumlah dokter, dikalangan pasiennya masing-masing telah pula mulai
menganjurkan untuk mengadakan penjarangan kehamilan. Ini disebabkan karena
angka kematian bayi dan ibu masih tetap tinggi dan setelah melihat sendiri
penderitaan yang dialami oleh ibu-ibu yang sering melahirkan. Dalam pemeriksaan
“post national care” ini, antara lain diberi nasehat tentang mengatur
kehamilan. Terutama kepada mereka yang tergolong dalam kelompok berisiko besar
bila melahirkan (high risk group). Metode kontrasepsi yang dianjurkan adalah
azal, pantang berkala dan kondom.
Disamping itu juga memberikan resep
untuk vaginal suppositoria seperti Rendell dan Duraform yang dapat dibeli di
apotik. Akan tetapi beerhubung obat-obat di luar masih sukar diperoleh lagipula
mahal harganya, ,maka dipakai cara lain yang sangat sederhana yaitu dengan menggunting
kain-kain kasa yang dicelupkan ke dalam liang senggama karena akan menghalangi
atau melumpuhkan sel-sel mani (sperma) yang masuk. Kain kasa ini diberi benang
untuk memudahkan yang bersangkutan pada waktu mengeluarkannya. Dr. Suharto yang
ketika itu mempunyai klinik bersalin juga telah mulai memberikan penyuluhan dan
pelayanan kepada pasiennya dalam menjarangkan kehamilan. Beliau telah beberapa
kali menerbitkan brosur tentang kesehatan yang diberikan dengan Cuma-Cuma
kepada pasiennya. Antara lain juga diterbitkan sebuah brosur tentang pengaturan
kehamilan. Tentu saja brosur ini hanya terbatas distribusinya yaitu di kalangan
pasien Dr. Suharto sendiri.
Pada tahun 1956 di BKIA jalan Tarakan,
Jakarta, kegiatan pemeriksaan setelah melahirkan dilakukan oleh dr. Koes S.
Martinon. Beberapa rumah bersalin mulai mengirimkan pasiennya kesana untuk
mendapatkan pemeriksaan. Mereka yang dikirm ke sana biasanya sudah tergolong
dalam kelompok berisiko besar. Ketika itu sedikir sekali yang datang atas
kemauan sendiri untuk mendapatkan pelayanan dalam menjarangkan kehamilan. Dalam
pada itu penggunaan kain kasa mulai diganti dengan karet busa yang dicelup ke
dalam air garam, cara mana juga dipergunakan di India. Cara ini digunakan
sampai ditemukannya alat kontrasepsi yang lebih modern. Dr. Hurustiati Subandrio
(seorang dokter dan antropolog), selama ada di London dari tahun 1948 hingga
1953 juga sudah menaruh perhatian kepada keluarga berencana. Ini telah
mendorong untuk mengadakan hubungan dengan IPPF (International Planned
Paranthood Federation) darimana ia mendapat
penerangan
yang lebih jelas lagi tentang keluarga berencana, ,tidak hanya dari segi medis
saja tetapi justru dari segi sosial. Juga dr. Hanifa Wiknjosastro yang pada
tahun 1953 mengikuti kuliah post graduate dalam kebidanan di London, setelah
membaca buku “Birth Control Today” karangan Marie Stopes, menjadi sangat
tertarik oleh Kaluarga Berencana.
Di London, alat kontrasepsi merupakan
barang biasa yang dijual di tokotoko dengan bebas. Di Indonesia, hal semacam
itu tidak dapat dilaksanakan. Membicarakan keluarga berencana secara
terang-terangan saja tidak mungkin. Masyarakat masih belum dapat menerimanya.
Apalagi dengan adanya pasal 534 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang
siapa dengan terang-terangan mempertunjukkan ikhtiar untuk mencegah hamil, atau
dengan menyiarkan tulisan menyatakan dengan tidak diminta bahwa ikhtiar atau
pertolongan itu bisa didapat, dapat dihukum dengan kurungan selama-lamanya 2
bulan atau denda sebanyak-banyaknya dua ratus rupiah”.
Itulah sebabnya mengapa dr. Hanifa
sepulangnya dari London belum dapat
menyebarluaskan
pengertian pembatasan kelahiran itu. Pada permulaan ia hanya dapat
membicarakannya dengan rekan-rekannya saja, terutama ahli-ahli kebidanan dan
penyakit kandungan. Karena bagaimana pun juga dokter-dokter inilah yang
nantinya akan memberikan pelayanan dan memegang peranan penting dalam usaha
penyebar-luasan gagasan pengaturan kehamilan tersebut.
Kepada dokter-dokter itulah dr. Hanifa
mulai memberikan ceramah-ceramah dan mendiskusikan masalah pengaturan
kehamilan. Dokter Hanifa juga memberikan pelayanan pembatasan kelahiran di
poliklinik Kebidanan RSUP, walaupun secara diam-diam. Cara yang digunakan oleh
dr. Hanifa ialah cara yang ketika itu populer. Yaitu dengan menggunakan
Menzinga Passarium atau Dutch Cap. Pada waktu itu Dr. Hurustiati beberapa bulan
bekerja di poliklinik RSUP yang disusun oleh dr. Hanifa.
Perlu dicatat bahwa pada tahun 1956 Dr.
Hurustiati bersama dengan beberapa tokoh wanila lain, mendirikan sebuah klinik
keluarga berencana di Gedung Wanita, Jakarta. Kegiatan klinik itu, seperti juga
klinik-klinik lainnya pada masa itu yang memberikan pelayanan keluarga
berencana, adalah sangat terbatas dan berjalan dengan diam-diam.
-
Perkembangan di Jawa Barat
Pada
tahun 1952 dikirim sejumlah orang ke Singapura dan Penang, dalam rangka study
tour mengenai usaha peningkatan Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), yang juga
mencakup bidang pengetahuan kehamilan. Pengetahuan yang diperoleh di luar
negeri itu, oleh (Ny.).O.Admiral yang turut dalam rombongan tersebut, kemudian
disebarluaskan di beberapa BKIA di Bandung, meskipun dapat dikatakan
perkembangannya sangat lambat.
Yang menyebar-luaskan gagasan Birth
Control di Jawa Barat adalah dr. Z Rachman Mansyur. Dari suaminya yang waktu
itu bekerja di Istana Merdeka, beliau mendengar tentang kedatangan dr. Abraham
Stone seorang tokoh dalam bidang pembatasan kelahiran. Kedatangan di Indonesia
adalah untuk meninjau kemungkinan dapat dilaksanakannya keluarga berencana di
Indonesia. Dalam hubungan ini beliau antara lain telah diterima Presiden. Hal
ini telah membuat dr. Z. Rachman Mansyur begitu tertarik oleh masalah
pembatasan kelahiran, hingga memutuskan untuk khusus mempelajari dibagian
kebidanan RSUP di Jakarta, di bawah pimpinan dr. Judono. Dengan seizin DKK Bandungm
di rumahnya (Jalan Anggrek, Bandung) klinik Keluarga Berencana pertama dibuka
pada tanggal 6 Oktober 1961. bahwa pihak DKK Bandung menaruh perhatian kepada
usaha dr. Z Rachman Mansyur terbukti dari pembelian alat-alat kontrasepsi milik
DKK untuk disalurkan melalui klinik tersebut.
-
Perkembangan di Jawa Timur
Setelah
mengikuti kursus pemeliharaan kesehatan masyarakat di All Indian Institute of
Hygiene and Public Health di Calcuta dari tahun 1955 sampai 1956 dimana juga
diberi pendidikan tentang keluarga berencana, (Ny.). Pesik kembali ke Indonesia
dengan membawa contoh-contoh alat kontrasepsi yang dengan persetujuan IKES Jawa
Timur, dr. Saiful Anwar, dipakainya sebagai bahan ceramah di kalangan
bidan-bidan.
Pada tahun 1959 dr. Wasito turut serta
dalam konperensi nasional tentang
keluarga
berencana di New Delhi. Setelah kembali di Indonesia ia dan dr. Pardoko mulai
mengadakan ceramah tentang keluarga berencana tetapi secara diam-diam. Unsur-unsur
dari lembaga Kesehatan Nasional mulai aktif pula dalam penelitian keluarga
berencana. Pada tahun 1961 dilaksanakan Proyek Cerme dengan bantuan dari
Population Counsil, dimana untuk pertama kalinya di Indonesia oleh dr. Pardoko
dan dr. Wasito dilakukan KAP study (study mengenai pengetahuan sikap dan
praktek keluarga berencana).
Pada tahun 1962 Mrs. Kinnon dari The
Pathfinder Fund berkunjung ke Surabaya. Setelah mengadakan tukar pikiran dengan
Mrs. Mc. Kinnon ini akhirnya IKES, dr. Syaiful Anwar, menyetujui diberikannya
pelayanan keluarga berencana di BKIA-BKIA atas dasar kesehatan. Mrs. Mc. Kinnon
sempat juga mengadakan ceramah di kantor Front Nasional Jawa Timur yang
diselenggarakan oleh PKBI. Pada tahun itu dr. kartini dan (Ny) Pesik dan
seorang staf dari lembaga Kesehatan Nasional Surabaya dikirim di training centre
Singapore atas biaya IPFF. Klinik-klinik keluarga berencana pertama dibuka di
DKK Surabaya (Mergoyoso) pada tahun 1962 di bawah pimpinan dr. Kartini dengan
supply kontrasepsi dari PKBI. Halvor Gille and Pardoko, “Germe Family Life
study”, Population and Family Planning Programmers, Berelson et all (Chicago
Press, 1967) Meskipun ketika itu keluarga berencana belum merupakan program pemerintah
namun RRI Surabaya telah dapat juga dipakai untuk keperluan penerangan keluarga
berencana.
-
Perkembangan di Luar Jawa
Juga di luar Jawa telah diadakan
kegiatan-kegiatan dalam bidang keluarga berencana seperti dilukiskan di bawah
ini :
Bali
– 1959 : Cabang PKBI yang pertama adalah Bali, dengan ketua (Ny) Sutedja,
isteri Gubernur Bali, Ketua bagian Medis adalah dr. Esther Wowor, Obstetricts
Gynaecoloog, kepala bagian kebidanan, Fakultas Kedokteran Udayana. Di bagian
inilah dimulai percobaan-percobaan obatobatan kontrasepsi dan teknik
kontrasepsi, dengan margulies coil, lippes loop dan sebagainya. Dalam pekerjaan
sehari-hari dr. Esther Wowor dibantu oleh suster Augustin Mambo. Usaha keluarga
berencana hanya mendapat bantuan dari tokoh-tokoh di Bali, seperti Gubernur
Bali sendiri, IKES dr. Djelantik dan (Ny) Wirati Wedastera.
Palembang
– 1962 : Perintisan keluarga berencana di Palembang dilakukan oleh (Ny) Gupito,
(Ny) Luki Irsan dan (Ny) Bambang Utoyo. Untuk bagian medis sebagai pelaksana bertindak
almarhum dr. Kwik Kim Swie.
Medan
– 1963 : Ketua cabang Medan yang pertama adalah dr. Supadmi Sutjipto. PKBI
telah dapat memperoleh fasilitas banyak dari dr. Sutjipto yang pada ketika itu menjabat
sebagai inspektur Kesehatan Sumatera Utara. Hubungan dengan Luar Negeri Sementara
itu di luar klinik, usaha-usaha perintisan mulai berkembang di masyarakat. (Ny)
Supeni yang pada tahun 1952 berkunjung ke India dalam rangka mempelajari
pemilihan umum di sana, sempat pula menyaksikan aktivitas pembatasan kelahiran
yang dilakukan di negeri itu. Sekembalinya di Indonesia, ia membantu dr.
Suharto yang ketika itu memegang bagian pendidikan sosial Partai Nasional
Indonesia, memberikan penerangan kepada kaum ibu. (Ny) Hutasoit mulai mengenal
keluarga berencana dalam tahun 1952 ketika meninjau kegiatan kesejahteraan
sosial di beberapa negara Eropa. Ketika kemudian berkunjung ke Amerika Serikat,
kesempatan ini dipergunakan untuk lebih memperdalam pengetahuannya tentang
keluarga berencana itu. Sekembalinya di Indonesia, (Ny) Hutasoit sering
mengemukakan tentang perlunya keluarga berencana itu dalam ceramah-ceramahnya
kepada kaum ibu.
Pada awal tahun 1957 (Ny.) Marsidah
Soewito, ketua YKK Yogyakarta dan dr. Hurustiati yang ketika itu menjabat
sebagai Kepala Sub-bagian Pendidikan
Kesehatan
Kementerian Kesehatan, menghadiri konperensi The Indian Family Planning
Association yang ke-3 di Calcuta. Pada kesempatan itu kedua utusan tersebut
banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh IPPF yang juga hadir di situ dan mendapat
penerangan yang lebih mendalam tentang pembatasan kelahiran. Dalam kunjungan ke
Indonesia tersebut mereka mengadakan pembicaraan dengan Mrs. Margareth Roots
yang dikirim oleh Prooter & Gamble, sebuah perusahaan yang menaruh
perhatian dasar terhadap kegiatan keluarga berencana di seluruh dunia. Ini
dibuktikan dengan sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh perisahaan tersebut
utuk kegiatan-kegiatan keluarga berencana. Mrs. Roots kemudian berkunjung di
Indonesia sebagai wakil The Pathfinder Fund. Ia adalah orang asing pertama yang
meninjau kegiatan keluarga berencana di Indonesia. Ia sangat tertarik oleh cara
pencegahan dengan menggunakan alat-alat yang sangat sederhana umpamanya karet
busa. Sekembalinya di negerinya, ia segera mengirimkan beberapa gulungan karet
busa dari mutu yang paling halus dan sekaleng bubuk busa (foam powder). Tidak
lama kemudian The Pathfinder mengirimkan kondom dan tablet busa. Dengan semakin
meningkatnya perkembangan-perkembangan ke arah pelaksanaan keluaga berencana
itu, maka akhirnya dirasakan perlu adanya suatu wadah yang dapat menampung,
mengatur dan mengkoordinir semua kegiatankegiatannya selama itu seakan-akan
berjalan sendiri-sendiri.
PELAKSANAAN KEGIATAN DAN
PERKEMBANGAN HASIL YANG
DICAPAI
1. Penerangan
dan motivasi
Penerangan dan motivasi
keluarga berencana dalam Repe- lita I terutama ditujukan untuk memberikan
penerangan se-luas-luasnya kepada masyarakat tentang terdapatnya
kemungkinan bagi mereka untuk melaksanakan perencanaan keluarga. Hal ini
dilakukan baik melalui Penerangan umum, penerangan kelompok, penyuluhan
wawan-muka, maupun melalui pendidik- an kependudukan.
- Penerangan umum.
Penerangan yang bersifat umum
dilakukan terutama melalui surat-surat kabar, majalah, kantor berita, siaran
radio, TVRI, lagu-lagu populer keluarga berencana, pembuatan film
cerita dan dokumenter tentang keluarga berencana,
penerbitan-penerbitan, spanduk-spanduk, papan bergambar, stempel pos pada
surat-surat, perangko keluarga berencana dan lambang kelu-
arga berencana pada mata uang logam.
- Penerangan kelompok.
Penerangan kelompok
terutama dilakukan melalui bantuan
yang diberikan kepada
seminar/raker/pertemuan berbagai kelompok masyarakat serta mengirimkan
tenaga-tenaga pene- rangan untuk melakukan pendekatan terhadap berbagai
kelom-pok khusus masyarakat di
daerah-daerah tertentu. Da1am rangka ini telah dilakukan pendekatan
terhadap golongan-golongan "berpengaruh" dalam masyarakat yang diharapkan
tidak hanya akan menjadi penghubung dan penyebar gagasan keluarga berencana,
akan tetapi diharapkan menjadi "orang contoh" dalam pelaksanaan
keluarga berencana. Untuk itu selama Repelita I telah dilakukan
pendekatan secara khusus terhadap pemimpin-pemimpin masyarakat, alim ulama,
organi-sasi karyawan swasta dan pemerintah, organisasi pemuda, pe-lajar,
cendekiawan, kalangan Angkatan Bersenjata, usahawan dan lain sebagainya.
- Penyuluhan wawan-muka.
Perhatian yang telah timbul dari
kalangan masyarakat terhadap program keluarga berencana segera membutuhkan
penggarapan yang
lebih bersifat perorangan agar kesadaran yang telah berkembang tersebut dapat tumbuh menjadi tin- dakan
melaksanakan keluarga berencana. Hal ini dilakukan melalui penyuluhan
wawan-muka baik berupa pendekatan secara langsung kepada calon akseptor
maupun kepada mereka yang
telah menjadi akseptor. Dengan demikian diharapkan jumlah akseptor baru terus
bertambah dan bersamaan dengan itu kelangsungan akseptor yang telah ada dapat terus
dipertahankan. Kegiatan penyuluhan wawan-muka tersebut untuk sebagian besar
dilakukan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Oleh karena itu
selama Repelita I jumlah tenaga PLKB terus ditingkatkan. Dalam tahun 1969/70
dan tahun 1970/71 belum terdapat tenaga PLKB yang terorganisir. Sejak tahun 1971/72 telah
tercatat 1.930 orang tenaga PLKB, kemudian dalam tahun 1972/73 terdapat
tambahan 3.774 orang dan kemudian dalam tahun 1973/74 tercatat PLKB baru sejum-
lah 5.969 orang (Tabel XII — 1).